All About Me

Foto saya
Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan

Selasa, 30 Juni 2009

Tanpa Judul

Ah..
Apakah tangis kerinduanmu
akan tempat peraduanmu
adalah bukti kegagalanku
untuk membahagiakanmu?
Kegagalanku akan janjiku
untuk selalu menghadirkan senyum dibibirmu?
Terkadang..
diri ini merasa kecil
diri ini merasa kalah
akan apa yang ada padamu
Tapi kasih...
aku kan selalu berusaha
untuk menjadikanmu
wanita paling bahagia di dunia
Tapi..
melihat air matamu
hatiku seakan diiris sembilu
air matamu adalah kegagalanku
dan itu karena kekuranganku...

Senin, 29 Juni 2009

ALMAMATERKU STPDN












Kisah Pak Asep

Kisah nyata, pak Asep (katakan begitu namanya), suami seorang penjual kopi tubruk di kolong dekat stasiun Dukuh Atas

Saya belum pernah ketemu dengan dia sebelumnya. Biasanya, setiap kali saya nongkrong menunggu kereta di stasiun Dukuh Atas (sekarang namanya stasiun Sudirman), hanya istri dan Hendra –anak laki-lakinya- yang setia menjerang air dan menyeduh kopi tubruk pesanan saya.

Dari kerut-merut kulit di wajahnya, saya taksir usianya tak kurang hampir sepuluh windu panjangnya. Saat itulah dia mulai panjang bercerita-seolah kami berteman lama- bahwa dia – pak Asep yang renta ini – sudah tiga dasawarsa mencoba menaklukan ibukota.

Masa kecil, dilaluinya di lereng sebuah gunung di Tasikmalaya, perlu waktu 3 jam untuk turun ke pasar Singaparna. Dua kali seminggu, lepas pukul dua malam, dia berjalan kaki bersama ayah tercinta menuju pasar untuk berbelanja. Dikisahkannya, sepanjang jalan ayahnya banyak bercerita, berdialog dan menembang beberapa lagu sunda untuk mengisi suasana. Banyak kisah diceritakan, disela peluh yang membasah karena perjalanan yang panjang ke bawah.

Ketika itu-katanya- jaman hidup dengan damainya. Setiap maghrib surau penuh dengan manusia, sholat berjamaah, lalu mengaji bersama. Tak tua, tak muda. Jaman itu, tak ada yang punya mobil atau kereta. Harta paling mewah hanya sapi atau kerbau di kandang, dan deretan sawah di ujung-ujung desa.
Panen hanya dua kali dalam setahun; dan setiap kali panen ada cukup simpanan beras untuk panen berikutnya. Tak perlu pupuk, tak perlu pestisida. Orang-orang sehat mencapai umur tertuanya, hingga ada yang berumur seratus tahun, katanya. Anak-anak berangkat pagi ke sekolah dengan riang, bertelanjang kaki melewati ratusan petak sawah gembira. Hidup tak ada yang menderita.

Kini jaman sudah berubah. Dengan keringat yang diperas, panen padi setahun bisa tiga kali. Tapi heran, tak cukup beras untuk disimpan hingga menjelang panen berikutnya. Pupuk, pestisida makin mahal, dan kebutuhannya melonjak luar biasa. Mengadu nasib di ibukota, tak lagi jauh beda. Dulu, dua dasawarsa lalu, bekerja satu hari bisa untuk makan tiga hari. Tapi kini kebalikannya, memeras peluh tiga hari, hanya cukup untuk hidup satu hari saja.

Di kampung, orang sudah bermobil dan bersepeda yang ada motornya. Rumah sudah bertembok, tak ada lagi atap rumbia. Tapi, maghrib surau dan masjid sepi, karena anak-anak sedang “sibuk mengaji” di depan tivi, menatapi film dan sinetron masa kini.
Anak-anak cepat tumbuh dewasa, tapi orang dewasa lebih cepat mati. Tak ada lagi, kakek atau nenek yang berusia hingga satu abad. Di ruangan tengah rumah bertembok tak ada lagi gurau, canda dan interaksi sanak sebagaimana dulu. Semua orang pergi ke kota, sibuk bekerja. Untunglah masih ada hari Lebaran.
Tekanan jaman, membuat desa pak Asep –katakan begitu namanya- juga dilanda penyakit kota bernama stress dan depresi. Anak-anak kehilangan hormat pada orangtua, anak-anak tertekan oleh lingkungannya. Kabar miris –kisah pak Asep selanjutnya – seorang anak mati bunuh diri karena takut tak lulus ujian negara.

Maka, dari bawah kolong jembatan dekat stasiun Dukuh Atas ini pak Asep –sebut saja begitu namanya – ingin kembali bernostalgia. Memiliki pemimpin yang peduli pada rakyatnya, pemimpin yang bisa menurunkan harga minyak dan beras untuknya, pemimpin yang tak hanya baik saat kampanye dan menjelang pemilu saja.

Dalam perjalanan di dalam kereta ber-AC setelah berpisah dengan pak Asep yang renta, berfikirlah saya yang masih beruntung bisa membeli mie instan buat anak-anak saya, membelikan seragam sekolah dan mainan untuk mereka. Hidup buat pak Asep, dan Pak Asep-Pak Asep lainnya memang sulit kita duga kedalamnya. Kita Cuma bisa bersyukur sambil menduga-duga. Jadi, Bapak dan Ibu Calon Presiden terhormat, jangan lagi ciderai mereka dengan janji belaka.
(Cerita ini ditulis oleh Basri Adhi...Thanks bro..)