All About Me

Foto saya
Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan

Senin, 19 Januari 2009

PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA ??

PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA ??

Dalam banyak sektor kinerja pemerintah dinilai masih lamban. Fakta yang selama ini mempermalukan bangsa kita belum juga terbantahkan: korupsi masih nomor wahid di Asia, penangkapan koruptor - meski telah dimulai - namun belum menyentuh kelas kakap dan hiu. Maka pantaslah Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki meratapi diri, betapa ia sendirian dalam memberantas korupsi. Belum lagi di bidang lain seperti penegakan hukum, pemerataan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, belum juga ada kemajuan yang berarti.

Yang tak kalah penting adalah kinerja pemerintah dalam hal pelayanan publik. Bidang ini sesungguhnya menjadi dasar bagi pemerintahan negara dimanapun, bahwa pemerintah atau birokrasi negara hadir untuk melayani warganya. Selama ini, pantaslah kita berkecil hati betapa minim pelayanan publik yang memenuhi standar sehingga pemerintah menerbitkan berbagai peraturan, yang tujuannya meningkatkan pelayanan publik yang lebih baik.

Pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah sering kali diabaikan. Pelayanan kesehatan, pendidikan, kecukupan kebutuhan pokok meliputi sandang, pangan, papan masih berbiaya mahal dan tidak pro masyarakat miskin dan lemah. Subsidi buat si miskin, bahkan mengalami inefisiensi akibat kebocoran dimana-mana.
Ketika pemerintah saat ini menggalakkan sejumlah program populis dalam bidang pelayanan publik - sebut saja program BOS dan BOMM yang gencar diiklankan Depdiknas dan Depag. Pertanyaannya, sejauh mana tingkat keamanan dari kebocoran dan penyimpangan? Pertanyaan lebih mendasar, apakah program tersebut didesain sudah menggunakan paradigma dan kerangka pelayanan publik atau sekedar program populis yang bermuatan politis dari pemerintah.

Faktanya masih ada sekolah yang tidak layak dijadikan tempat pendidikan. Banyak diantara murid yang terpaksa belajar di emperan sekolah, lantaran sudah beberapa tahun sekolah rusaknya urung direnovasi. Betapa banyak orang miskin tak tertolong dari sakitnya, biaya berobat tak sanggup dibayarnya. Ada program keringanan, tapi kenapa prosedurnya sulit dan berbelit.

Melihat itu semua, bukankah jauh harapan dari kenyataan? Pantaslah kita bertanya, progam pelayanan publik pemerintah sudahkah dikaji, didesain secara sistemik dan paradigmatik dan selanjutnya dilaksanakan dengan sepenuh hati atau hanya sekedar sloganistik? Sayangnya, selama bertahun-tahun kita punya paradigma yang salah soal fungsi dan tugas pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat. Sehingga kita nyaris tak punya pengalaman pelayanan publik yang baik.

Di negara maju, pegawai pemerintah disebut sebagai civil servant (pelayan publik). Di negara kita pegawai negeri disebut sebagai abdi negara (bukan abdi masyarakat). Apa artinya? Paradigma birokrasi kita masih sangat feodal. Di masa Orba, pameo asal atasan senang sudah mentradisi begitu kuat dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Pegawai memilih menjadi pelayan atasan daripada menjadi pelayan publik. Hal ini masih tetap berlaku hingga kini.

Betapa bayak pegawai pemerintah yang harus dimengerti dan dituruti apa saja maunya oleh masyarakat yang meminta pelayanan. Tidak sedikit dari mereka yang memberi layanan dengan cara tidak ramah, cuek, berlaku di luar prosedur Bukankah mereka pelayan publik? Dalam kaitannya dengan peningkatan good governance Indonesia tersandung oleh lemahnya public governance yakni lemahnya institusi pelayanan publik. Sehingga tidak heran jika hasil survei Credit Lyonnaise Securities Asia (CLSA) tentang good governance (penyelenggaraan pemerintahan yang bersih) menempatkan Indonesia di tingkat terbawah dari 10 negara Asia.

Bahkan, menurut Media Indonesia (20/12) di sisi nilai absolut (skor) Indonesia mengalami penurunan, dari 4,0 pada 2004 menjadi 3,7. Tiga posisi teratas good governance di Asia ditempati Singapura dengan skor 7,0 diukuti oleh Hongkong (6,9) dan India (6,1). Apa yang perlu dirubah untuk memperbaiki citra pelayanan publik kita?

Pertama, pemerintah harus menjadikan paradigma "pelayan publik (public servant)" sebagai paradigma pegawai pemerintah. Visi pemerintah yang pertama dan utama adalah melayani masyarakat.

Kedua, perlu dibuat peraturan perundang-undangan khusus - dan produk hukum turunannya - tentang pelayanan publik yang berprespektif masyarakat (pelayanan publik) bukan prespektif birokrasi pemerintah. RUU Pelayanan Publik yang masuk ke DPR saat ini masih belum mencerminkan paradigma pelayanan, bias birokrasinya masih terlampau kuat. Pelibatan masyarakat dalam pelayanan publik sedari perencanaan, pengawasan, hingga evaluasi belum diakomodir oleh RUU.
Ketiga, pemerintah harus merumuskan standar pelayanan publik. Artinya sistem birokrasi harus memberikan kemudahan, akurasi, dan kecepatan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan hak-hak publik mereka. Pemerintah bisa belajar dari negara-negara Eropa, Singapura, atau Malaysia yang memiliki sistem pelayanan publik yang bagus. Sistem ini harus transparan dan akuntabel, sehingga korupsi dan inefisiensi bisa dideteksi - tentunya didukung oleh upaya penegakan hukum yang konsisten.

Keempat, tersedianya sumber daya manusia yang siap untuk melayani publik dengan pelayanan yang prima. Ini mengandaikan adanya pengkaderan yang sistematis dimulai dari bagaimana sumber daya manusia itu direkrut, dibina, dilatih dan dididik. Untuk selanjutnya ditempatkan di posisi yang tepat.


By. Sugeng P. Siregar SSTP

2 komentar:

  1. Sungguh menarik tulisan anak bangsa ini. Sangking menariknya, jariku pun tertarik untuk memberi komentar sekaligus berkeluh-kesah.

    Menggaris bawahi paradigma Pegawai Negeri. Mungkinkah saat ini terjadi perubahan paradigma?. Rasanya masih lama. Kok lama? Woong, mereka rata-rata tidak suka klik sana-sini di Internet. Mari kita berandai. Jika para pegawai dan para atasan membaca blog ini, apalagi menyimak, menghayati dan mengimplementasi, sudah barang tentu lain ceritanya.

    Sedihnya lagi, tujuan awal pengadaan Laptop agar kerja tanpa kertas (paperless) dan online di mana-mana. Faktanya, tidak sedikit para atasan merasa harus sebagai peminjam pertama yang berubah jadi pemilik Laptop itu. Padahal pegang mouse pun grogi bahkan tidak bisa.
    Kalau ada rezeki diembat sendiri, sehingga lahir sarkarsme "Biasalah, otak atasan itu kadang Error bahkan hang". Kalau tambah-tambah atau kali-kali normal, tapi kalau bagi-bagi menjadi error bahkan hang untuk kurang-kurang".

    Pemimpin abdi masyarakat, wong rezeki anak buah diembat sendiri.
    Pegawai sebagai pelayan masyarakat, wong kelakuannya mintak dilayani masyarakat dengan dalih untuk para atasan.
    Rasanya masih jauh, terwujud pegawai sebagai pelayan publik. Sejauh mata memangdang batas laut.

    Akhirnya, lahirlah pesimistik berangkai doa, "Semoga mereka cepat-cepat pensiun". Dengan harapan, berganti generasi paradigman pun berubah dari Abdi Negara menjadi Abdi Masyarakat. Semoga.

    BalasHapus
  2. Bagus mas, cocok. Ada kecenderungan pejabat kita bukan ngurus tetapi nguras, lebih mementingkan logistik dari pada logika, lebih mementingkan pendapatan besar dari pada pendapat besar (brilian).

    BalasHapus